Akibat peningkatan
kesejahteraan, derajat kesehatan dan gizi masyarakat serta perubahan
komposisi penduduk, terjadi pula perubahan pola penyakit yaitu
berkurangnya penyakit-penyakit menular dan kekurangan kurang di satu
pihak, dan bertambahnya penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit
jantung, diabetes dan kanker di lain pihak.
Penyakit kanker
merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di berbagai negara.
Sekitar 70-90% dari penyakit kanker tersebut berkaitan dengan lingkungan
dan gaya hidup (life style). Dari seluruh penyakit kanker yang disebabkan faktor lingkungan, sekitar 40-60% berhubungan dengan faktor gizi.
1. Lemak
Meski
studi tentang hubungan masukan lemak dengan penyakit kanker masih
memberikan hasil yang tidak taat azas, tetapi studi yang menggunakan
hewan percobaan menunjukkan bahwa masukan lemak merupakan salah satu
kunci dalam mencegah, kanker.
Beberapa peneliti berhasil
menunjukkan hubungan antara kenaikan konsumsi lemak dan kegemukan dan
kanker payudara hanya ditemukan pada usia yang lebih tua. Tampaknya
bukan konsumsi total lemak yang merupakan faktor penting dalam penyakit
kanker, tetapi jumlah asam lemak tak jenuh ganda dalam diet lebih
berperan. Hal yang harus diperhatikan dalam mengkaji hubungan antara
masukan lemak dengan kanker ialah macam lemak (lemak jenuh dibandingkan
dengan lemak tak jenuh; lemak hewani dibandingkan dengan lemak nabati).
Di
lain pihak, beberapa studi menunjukkan bahwa kholesterol darah yang
terlalu rendah merupakan risiko kanker. Masih perlu studi lebih lanjut
untuk sampai pada kesimpulan yang pasti tentang korelasi antara masukan
kholesterol dengan kholesterol darah dan kanker. Masukan lemak tidak
hanya berhubungan dengan kanker tetapi juga dengan penyakit jantung, dan
kegemukan.
Pada studi dengan hewan cobaan, pembatasan masukan
energi akan mengurangi insiden beberapa jenis kanker, dan meningkatkan
umur binatang cobaan tersebut. Masukan energi total dan persen energi
yang berasal dari lemak berhubungan dengan risiko kanker, akan tetapi
hubungan ini bervariasi untuk jenis kanker yang berbeda. Studi yang
dilakukan oleh Boissonneault dkk,1986, menemukan pengaruh energi yang
berasal dari lemak terhadap kanker tergantung dari masukan energi total.
2. Protein
Hubungan
antara konsumsi protein terutama protein hewani dengan insiden beberapa
jenis kanker tertentu telah diselidiki dalam studi epidemiologi. Namun
korelasi antara konsumsi protein dengan kanker dipengaruhi oleh korelasi
yang tinggi antara konsumsi protein dengan zat gizi lain terutama
lemak. Dengan demikian pengaruh langsung dari protein belum dapat
ditentukan.
Studi menggunakan hewan cobaan menunjukkan pemberian
masukan protein secara berlebihan tidak selalu berhubungan secara taat
azas dengan kenaikan insiden tumor. Bila hewan diberi makanan secara ad
libitum dengan kandungan protein 10-15% kalori, total insiden tumor
tidak dipengaruhi, meski beberapa tumor tertentu seperti bladder
papilloma dan tumor payudara ditingkatkan oleh peningkatan masukan
protein.
3. Vitamin dan mineral
Disini
hanya dibahas vitamin A, karoten, vitamin C, E, zat besi dan selenium.
Banyak bukti menunjukkan bahwa makanan yang mengandung banyak vitamin A
dan karoten dapat mencegah beberapa jenis kanker epitel. Dari beberapa
studi epidemiologi, konsentrasi vitamin A dalam darah berhubungan dengan
kenaikan risiko kanker, tetapi beberapa penelitian lain tidak menemukan
hubungan tersebut. Demikian pula hubungan antara karotenoid dalam darah
dengan kanker.
Suatu studi kohort berhasil menunjukkan bahwa
risiko semua jenis kanker dapat diturunkan dengan meningkatkan konsumsi
sayuran yang kaya karoten. Bukti paling kuat mengenai peranan vitamin A
dalam pencegahan kanker didapat dari studi epidemiologi yang
menghubungkan antara konsumsi sayuran yang kaya karoten atau makanan
yang kaya vitamin A dengan kanker paru.
Pada hewan cobaan,
pemberian vitamin A dosis tinggi dapat mencegah kanker serviks, vagina,
kolon, kulit, lambung, tracheobronchi, pankreas, dan hati. Karotenoid
diperlukan untuk diferensiasi sel normal. Defisiensi karotenoid dapat
menyebabkan proses diferensiasi terhambat. Pada hewan cobaan retinoid
mungkin dapat mencegah tahap inisiasi dan promosi dari proses
karsinogenesis.
Makanan yang kaya vitamin A dapat mencegah
pembentukan radikal oksigen dan peroksida lemak, dan beta karoten sangat
efisien dalam menetralisir radikal oksigen. Vitamin A, bersama dengan
vitamin C, vitamin E, dan selenium dapat menetralisir efek peroksida dan
mengurangi karsinogenesis. Vitamin A dan karoten mempunyai efek
penghambatan terhadap kanker mulut dan oesofagus terutama pada pengunyah
tembakau (tobacco chewer) dan terhadap kanker paru pada perokok.
Dari
studi pada manusia, dapat ditunjukkan bahwa terdapat asosiasi protektif
antara makanan yang kaya vitamin C dengan kanker esofagus; kanker
lambung. Di dalam saluran pencernaan, vitamin C akan memblok pembentukan
nitrosamin yang bersifat karsinogenik dari nitrat dan nitrit, serta
mencegah oksidasi zat-zat kimia tertentu menjadi bentuk karsinogenik
yang aktif. Vitamin C merupakan faktor pembatas reaksi nitrosasi pada
manusia, dan ini telah didemonstrasikan pada penderita gastrektomi dan
gastritis atropik akuta.
Dari beberapa studi berhasil
ditunjukkan bahwa efek toksik dari ozon pada paru dapat dicegah secara
efisien dengan vitamin E. Kadar vitamin E dalam serum mempunyai asosiasi
protektif dengan kanker paru.
Dalam studi biokimia, vitamin E
berfungsi sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan sebagai free
radical scavenger. Dengan demikian peranan vitamin E dalam efek
pencegahan kanker hampir sama dengan vitamin A dan C. Vitamin E, seperti
juga vitamin C, dapat mencegah pembentukan nitrosamin secara in vitro.
Tetapi harus diingat bahwa vitamin E larut dalam lemak, sehingga efek
pencegahannya dipengaruhi oleh kehadiran lemak, sedangkan vitamin C
tidak, karena larut dalam air.
Banyak bukti menunjukkan bahwa
peningkatan simpanan besi dalam tubuh berhubungan dengan peningkatan
risiko kanker. Stevens, dkk dalam penelitiannya menemukan mampu ikat
besi (total iron binding capacity) lebih rendah, sedangkan jenuh transferin lebih tinggi pada penderita kanker dibandingkan dengan bukan penderita.
Selenium dalam tanaman maupun hewan berbentuk selenat, selenocystin, selenomethionin, dan
bentuk-bentuk lain yang belum diidentifikasi. Pengkajian dari angka
rata-rata konsumsi selenium per kapita yang berasal dari 27 negara,
mendapatkan hubungan terbalik dengan total kematian karena kanker,
kematian karena leukemia, dan kanker kolon, rektum, payudara, ovanum,
dan kanker paru.
Dari beberapa studi kasus kontrol didapatkan
bahwa penderita kanker mempunyai selenium darah yang lebih rendah
daripada kontrol. Akan tetapi data penelitian ini harus
diinterpretasikan dengan hati-hati, karena kadar selenium darah yang
rendah mungkin merupakan konsekuensi sakit. Studi prospektif dapat
menunjukkan bahwa risiko kanker meningkat pada kelompok dengan selenium
darah, vitamin E dan vitamin A darah yang rendah. Selenium menghambat
transformasi neoplastik dalam berbagai organ epitel pada hewan.
Beberapa
studi menunjukkan efek protektif terhadap kanker hati, payudara, kolon,
dan kulit. Akan tetapi dosis yang diberikan sampai menghasilkan efek
protektif ini, dalam berbagai penelitian sama dengan dosis yang dapat
menimbulkan keracunan pada pemberian jangka panjang.
4. Serat makanan
Serat
makanan meliputi selulosa, hemiselulosa, lignin, gums, pektin. Sumber
utama serat makanan adalah sayuran, buah-buahan dan biji-bijian penuh
atau utuh. Dari beberapa studi epidemiologi, didapatkan korelasi antara
konsumsi serat makanan dengan risiko kanker kolon.
Pada studi
dengan manusia, masih belum cukup informasi tentang komponen dari serat
makanan dan pengaruh terhadap risiko kanker. Diperkirakan jenis serat
memegang peranan penting. Pada beberapa studi lain juga diamati hubungan
dengan zat gizi lain, karena walaupun terdapat korelasi yang kuat
antara risiko kanker kolon dengan pola makanan tinggi sera, komponen
diet lainnya mungkin berpengaruh terhadap korelasi ini.
Dari 19
studi kasus kontrol yang mengukur peran serat makanan pada kanker kolon,
tiga studi tidak menemukan peran, tiga studi menemukan hubungannya
dengan kenaikan risiko kanker, dan 13 studi menemukan efek protektif
serat makanan, khususnya sayuran. Efek protektif dikemukakan dalam dua
studi kasus kontrol yang menguji risiko relatif untuk diet tinggi lemak
dan rendah lemak.
Secara keseluruhan, studi kasus kontrol
menyajikan hasil yang beragam, beberapa studi menunjukkan serat makanan
mempunyai efek protektif dan lainnya tidak. Pada studi menggunakan hewan
cobaan, juga didapatkan hasil yang tidak taat azas dalam hubungan
antara serat makanan dengan kanker kolon. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti sifat karsinogen yang digunakan, komposisi diet,
perbedaan kuantitatif dan kualitatif dalam serta makanan, strain hewan
cobaan yang digunakan, dan lama percobaan.
5. Makanan olahan
Cara
penyimpanan dan pengolahan makanan bervariasi antar negara, dan
perbedaan ini mungkin memberikan kontribusi yang besar dalam variasi
beberapa jenis kanker.
Pengasapan makanan dapat membentuk senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik (polycyclic aromatic hydrocarbon),
beberapa di antaranya diketahui bersifat karsinogenik pada hewan.
Zat-zat yang bersifat karsinogenik dapat terbentuk pada waktu proses
pemasakan dan jumlahnya berhubungan dengan penggunaan suhu tinggi dan
jangka waktu pemasakan. Misal pemasakan dengan cara pembakaran
menggunakan api oven, dapat membentuk senyawa hidrokarbon polisiklik
aromatik pada permukaan makanan yang dibakar tersebut. Pembakaran asam
amino dengan gula selama proses pemasakan, menghasilkan berbagai zat
kimia yang bersifat mutagenik, dan beberapa di antaranya bersifat
karsinogenik.
Penggaraman dan pengasaman makanan dapat membentuk
nitrosamin yang bersifat karsinogenik untuk mulut dan lambung.
Bukti-bukti dari studi epidemiologi menunjukkan masyarakat yang banyak
mengkonsumsi makanan yang diawet dengan diasin, diasam, dan diasap,
mempunyai insiden kanker lambung dan esofagus lebih banyak. Kanker
esofagus berhubungan dengan konsumsi asinan sayur, ikan asin dan makanan
asap. Dari beberapa studi epidemiologi, nitrat, nitrit dan komponen
N-nitroso dalam makanan dan air serta makanan yang diasin berhubungan
dengan kanker lambung.
Kanker esofagus dan kanker lambung juga
berhubungan dengan keadaan gizi kurang. Kenyataannya, hampir semua studi
mengenai diet dengan kanker lambung, telah menemukan efek protektif
dari konsumsi sayuran dan buah-buahan, dan bahkan dalam percobaan in
vitro pembentukan komponen N-nitriso dapat ditekan seminim mungkin oleh
antioksidan seperti vitamin E dan vitamin C.
Rabu, 20 Februari 2013
Hubungan Gizi Dengan Penyakit Kanker
Diposting oleh nobita 'vii' di 03.49
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar