Unsur Intrinsik
Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2002). Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir
sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah drama adalah unsur-unsur yang (secara
langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik
inilah yang membuat sebuah drana berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari
sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita
membaca sebuah naskah drama. Unsur yang dimaksud untuk menyebut sebagian saja,
misalnya: 1) judul; 2) tema; 3) plot atau alur ; 4) tokoh cerita dan
perwatakan; 5) dialog; 6) konflik; dan 7)latar.
1.
Judul
Judul adalah
kepala karangan atau nama yang dipakai untuk buku atau bab dalam buku yang
dapat menyiratkan isi buku tersebut. Judul suatu karya (buku) drama juga
merupakan kunci untuk melihat keseluruhan makna drama. Judul isi karangan
selalu berkaitan erat. Drama sebagai karya sastra dan merupakan cabang sini
tergolong sebagai karya fiksi. Sugiarta dalam Sudjarwadi (2004) menjelaskan,
judul pada karya fiksi bersifat manasuka, dapat diambil dari nama salah satu
tempat atau tokoh dalam cerita, dengan syarat sebaiknya melambangkan isi cerita
untuk menarik perhatian.
Judul
karangan seringkali berfungsi menunjukan unsur-unsur tertentu dari karya
sastra, misalnya :
- Dapat menunjukan tokoh utama
- Dapat menunjukan alur atau waktu
- Dapat menunjukan objek yang dikemukakan dalam suatu cerita
- Dapat mengidentifikasi keadaan atau suasana cerita
- Dapat mengandung beberapa pengertian
2.
Tema
Tema adalah
ide yang mendasari cerita sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang
dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya Tema dikembangkan dan
ditulis pengarang dengan bahasa yang indah sehingga menghasilkan karya sastra
atau drama. Tema merupakan ide pusat atau pikiran pusat, arti dan tujuan
cerita, pokok pikiran dalam karya sastra, gagasan sentral yang menjadi dasar
cerita dan dapat menjadi sumber konflik-konflik.
Jika
dikaitkan dengan dunia pengarang, tema adalah pokok pikiran didalam dunia
pengarang. Setiap karya sastra (fiksi) telah mengandung atau menawarkan tema.
Tema mengikat pengembangan cerita. Tema juga sebagai premis artinya rumusan
inti sari yang merupakan landasan untuk menentukan tujuan dan arah cerita.
Menurut Nurgiyantoro (1995), tema dibagi dua, yaitu tema mayor ( tema pokok
cerita yang menjadi dasar karya sastra itu) dan tema minor (tema tambahan yang
menguatkan tema mayor).
3.
Plot atau alur
Menurut
Sudjarwadi (2005), plot atau alur dalam drama tidak jauh berbeda dengan plot
atau alur dalam prosa fiksi. Dalam drama juga mengenal tahapan plot yang
dimulai dari tahapan permulaan, tahapan pertikaian, tahapan perumitan, tahapan
puncak, tahapan peleraian, dan tahapan akhir. Hanya saja dalam drama plot atau
alur itu dibagi menjadi babak-babak dan adegan-adegan.
Babak adalah
bagian dari plot atau alur dalam sebuah drama yang ditandai oleh perubahan
setting atau latar. Sedangkan adegan merupan babak yang ditandai oleh perubahan
jumlah tokoh ataupun perubahan yang dibicarakan.
4.
Tokoh cerita dan perwatakan
Tokoh cerita
adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa
cerita. Tokoh cerita dapat berupa manusia, binatang, makhluk lain seperti
malaikat, dewi-dewi, bidadari, setan atau iblis, jin, setan, sikuman, roh, dan
benda-benda yang diinsankan. Tokoh dalam karya sastra memiliki perwatakan.
Adanya watak yang berbeda-beda menyebabkan timbulnya peristiwa atau konflik
yang membuat cerita semakin menarik. Berdasarkan segi peran atau tingkat
pentingnya tokoh dalam suatu cerita dibedakan menjadi dua bagian. Yaitu central
character (tokoh utama) dan peripheral character (tokoh tambahan).
Ada dua macam tokoh, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah
tokoh yang diutamakan penderitaannya dalam suatu karya sastra (drama).
Ada tiga kriteria untuk menentukan
tokoh utama, yaitu :
- Mencari tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.
- Mencari tokoh yang paling banyak membutuhkan waktu penceritaan
- Melihat intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa yang membangun cerita (tema)
Berdasarkan
fungsinya dalam drama, tokoh cerita ada empat macam, yaitu tokoh protagonis,
antagonis, tritagonis, dan peran pembantu. Ada pula pendapat lain, bahwa ada
tiga macam tokoh cerita, yaitu tokoh utama, tokoh pendamping, dan tokoh
tambahan. Berdasarkan wataknya, tokoh cerita dibedakan menjadi dau jenis, yaitu
flat character (tidak mengalami perubahan) dan round character
(mengalami perubahan).
5.
Teknik Dialog
Teknik
dialog sangat penting di dalam drama. Dialog merupakan ciri khas suatu karya
drama. Adanya teknik dialog secara visual membedakan karya drama dengan yang
lain, yaitu puisi dan prosa. Dialog ada juga di dalam puisi dan prosa, tetapi
tidak semutlak di dalam drama. Dialog di dalam drama tidak boleh diabaikan
karena pada dasarnya drama merupakan dialog para tokoh cerita. Dialog adalah
percakapan tokoh cerita. Dalam struktur lakon, dialog dapat ditinjau dari segi
estetis dan segi teknis. Dari segi estetis, dialog merupakan faktor literer dan
filosofis yang mempengaruhi struktur keindahan lakon. Dari segi teknis, dialog
biasanya diberi catatan pengucapan yang ditulis dalam tanda kurung. Dialog
melancarkan cerita atau lakon. Dialog mencerminkan pikiran tokoh cerita. Dialog
mengungkapkan watak para tokoh cerita. Dialog merupakan hubungan tokoh yang
satu dengan tokoh yang lain. Dialog berfungsi menghubungkan tokoh yang satu
dengan tokoh yang lain. Dialog juga berfungsi menggerakan cerita dan melihat
watak atau kepribadian tokoh cerita.
Ada dua
macam tenik dialog, yaitu monolog dan konversi (percakapan). Ada juga teknik
dialog dalam bentuk prolog dan epilog. Prolog berarti pembukaan atau peristiwa
pendahuluan yang diucapakan pemeran utama dalam sandiwara. Epilog berarti
bagian penutup pada karya drama untuk menyampaikan atau menafsirkan maksud
karya drama tersebut.
6.
Konflik
Konflik
adalah pertentangan. Tokoh cerita dapat mengalami konflik, baik konflik dengan
diri sendiri, dengan orang / pihak lain, maupun dengan lingkungan alam. Seperti
halnya biasa, tokoh cerita dalam drama juga mengalami konflik. Konflik dapat
membentuk rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan kausalitet. Konflik di
dalam karya drama dapat menimbulkan atau menambah nilai estetik. Tanpa konflik
antar tokoh cerita, suatu karya drama terasa monoton, akibatnya pembaca atau
penonton drama menjadi bosan.
Ada pendapat
yang menyatakan bahwa konflik dibagi menjadi dua bagian, yaitu konflik
eksternal dan internal. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa konflik
ada tiga macam, yaitu konflik mental (batin), konflik sosial, dan konflik
fisik. Konflik mental (batin) adalah konflik atau pertentangan antara seseorang
dengan batin atau wataknya. Konflik sosial adalah konflik antara seseorang
dengan masyarakatnya, atau dengan orang / pihak lain. Konflik fisik adalah
konflik antara seseorang dengan kekuatan diluar dirinya, misalnya dengan alam
yang ganas, cuaca buruk, lingkungan yang kumuh, pergaulan yang salah. Konflik
merupakan kunci untuk menemukan alur cerita. Dengan adanya konflik, maka cerita
dapat berlangsung. Konflik berkaitan dengan unsure intriksik yang lain, seperti
tokoh, tema latar, dan tipe drama. Konflik dapat menggambarkan adanya tipe
drama.
7.
Latar
Latar
merupakan unsur struktural yang sangat penting. Latar di dalam lakon atau crita
drama harus mendukung para tokoh cerita dan tindakannya. Pengarang tentu
membuat latar membuat latar yang tepat demi keberj\hasilan dan keindahan
struktur drama. Penggunaan latar yang berhasil juga menentukan keberhasilan
suatu karya drama. Penyaji latar yang tepat dapat menciptakan warna kedaerahan
yang kuat sehingga dapat menghidupkan carita. Latar adalah lingkungan tempat
berlangsungnya peristiwa yang dapat dilihat, termasuk di dalamnya aspek waktu,
iklim, dan periode sejarah. Latar mendukung dan menguatkan tindakan tokoh-tokoh
cerita. Latar memberikan pijakan cerita dan kesan realistis kepada pembaca
untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan
terjadi (Nurgiyantoro, 1995).
Fungsi latar
yaitu:
1.
menggambarkan situasi
2.
proyeksi keadaan batin para tokoh
cerita
3.
menjadi metafor keadaan emosional
dan spiritual tokoh cerita
4.
menciptakan suasana
Unsur-unsur latar yaitu:
- letak geografis
- kedudukan / pekerjaan sehari-hari tokoh cerita
- waktu terjadinya peristiwa
- lingkungan tokoh cerita
Aspek latar berdasarkan fungsinya mencakup:
- tempat terjadinya peristiwa
- lingkungan kehidupan
- sistem kehidupan
- alat-alat atau benda-benda
- waktu terjadinya peristiwa
8.
Amanat
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 67) amanat adalah
segala sesuatu yang ingin disampaikan pengarang, yang ingin ditanakannya secara
tidak langsung ke dalam benak para penonton dramanya.
Harimurti Kridalaksana
(183) berpendapat amanat merupakan keseluruhan makna konsep, makna wacana, isi
konsep, makna wacana, dan perasaan yang hendak disampaikan untuk dimengerti dan
diterima orang lain yang digagas atau ditujunya.
Amanat di
dalam drama ada yang langsung tersurat, tetapi pada umumnya sengaja
disembunyikan secara tersirat oleh penulis naskah drama yang bersangkutan.
Hanya pentonton yang profesional aja yang mampu menemukan amanat implisit
tersebut.
9.
Bahasa
Menurut
Akhmad Saliman (1996 : 68), bahasa yang digunakan dalam drama sengaja dipilih
pengarang dengan titik berat fungsinya sebagai sarana komunikasi.
Setiap
penulis drama mempunyai gaya sendiri dalam mengolah kosa kata sebagai sarana
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Selain berkaitan dengan pemilihan
kosa kata, bahasa juga berkaitan dengan pemilihan gaya bahasa (style).
Bahasa yang
dipilih pengarang untuk kemudian dipakai dalam naskah drama tulisannya pada
umumnya adalah bahasa yang mudah dimengerti (bersifat komunikatif), yakni ragam
bahasa yang dipakai dalam kehidupan kesehatian. Bahasa yang berkaitan dengan
situasi lingkungan, sosial budyaa, dan pendidikan.
Bahasa yang
dipakai dipilih sedemikian rupa dengan tujuan untuk menghidupkan cerita drama,
dan menghidupkan dialog-dialog yang terjadi di antara para tokoh ceritanya.
Demi pertimbangan komunikatif ini seorang pengarang drama tidak jarang sengaja
mengabaikan aturan aturan yang ada dalam tata bahasa baku.
C.
Unsur
Ekstrinsik
Menurut
Tjahyono (1985), unsur ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di
luar struktur karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut.
Misalnya faktor-faktor sosial politik saat karya tersebut diciptakan, faktor
ekonomi, faktor latar belakang kehidupan pengarang, dan sebagainya. Mengutip
pernyataan Wellek dan Warren, Tjahyono menjelaskan pengkajian terhadap unsur
ekstrinsik karya sastra mencakup empat hal. Salah satunya adalah mengkaji
hubungan sastra dengan aspek-aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan
pendidikan. Bahwa situasi sosial politik ataupun realita budaya tertentu akan
sangat berpengaruh terhadap karya sastra tersebut.
Unsur yang membangun karya sastra berdasarkan pendekatan struktural
meliputi unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pembahasan kali ini akan dikhususkan
pada unsur ekstrinsik karya sastra, khususnya prosa.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra,
tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur ekstrinsik berperan
sebagai unsur yang mempengaruhi bagun sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur
esktrinsik karya sastra harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik pun terdiri atas
beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), bagian yang termasuk unsur
ekstrinsik tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Keadaan subjektivitas individu
pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu
mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
b.
Keadaan psikologis, baik psikologis
pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan prinsip psikologis dalam karya.
c.
Keadaan lingkungan pengarang,
seperti ekonomi, sosial, dan politik.
d.
Pandangan hidup suatu bangsa,
berbagai karya seni, agama, dan sebagainya.
e.
Latar belakang kehidupan pengarang
sebagai bagian dari unsur ekstrinsik sangat mempengaruhi karya sastra.
Misalnya, pengarang yang berlatar belakang budaya daerah tertentu, secara
disadari atau tidak, akan memasukkan unsur budaya tersebut ke dalam karya sastra.
Menurut
Malinowski, yang termasuk unsur budaya adalah bahasa, sistem teknologi, sistem
mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.
Unsur-usnru tersebut menjadi pendukung karya sastra. Sebagai contoh, novel Siti
Nurbaya sangat kental dengan budaya Minangkabau. Hal ini sesuai dengan latar
belakang pengarangnya, Marah Rusli, yang berasal dari daerah Minangkabau.
Begitu pula novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang dilatarbelakangi
budaya Dayak Kalimantan karena pengarangnya berasal dari daerah Kalimantan.
Begitu pula
dalam Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita akan menemukan unsur
intrinsik berupa nilai-nilai budaya. Terutama, yang berkaitan dengan sistem
mata pencaharian, sistem teknologi, religi, dan kesenian. Mata pencaharian yang
ditekuni para tokoh dalam novel tersebut sebagai pencari damar dan rotan di
hutan. Alat yang digunakan masih tradisional.
Selain
budaya, latar belakang keagamaan atau religiusitas pengarang juga dapat
memengaruhi karya sastra. Misalnya, Achdiat Kartamihardja dalam novel Atheis
dan Manifesto Khalifatullah, Danarto dalam novel Kubah, atau Habiburahman
El-Shirazi dalam Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.
Latar
belakang kehidupan pengarang juga menjadi penting dalam memengaruhi karya
sastra. Sastrawan yang hidup di perdesaan akan selalu menggambarkan kehidupan
masyarakat desa dengan segala permasalahannya. Misalnya, dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dengan
demikian, unsur ekstrinsik tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
bangunan karya sastra. Unsur ekatrinsik memberikan warna dan rasa terhadap
karya sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna.
Unsur-unsur ektrinsik yang mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas
objektif pada saat karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapat
memahami keadaan masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar